Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama, Sahkah?
Oleh: Juan Maulana Alfedo, S.H.[1]
Secara konstitusional, melangsungkan perkawinan merupakan hak asasi setiap warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Hal Ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”[2]
Eksistensi perkawinan di Indonesia saat ini diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Undang-Undang ini, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[3]
Pada dasarnya, dalam suatu perkawinan seorang suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang istri, begitu juga untuk seorang istri yang hanya diperbolehkan mempunyai seorang suami.[4] Namun Undang-Undang ini secara yuridis memberikan ruang kepada seorang suami untuk dapat memiliki istri lebih dari satu (poligami) apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan dengan izin Pengadilan. Hal ini telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
Dalam konteks poligami yang subjek hukumnya merupakan orang-orang yang beragama Islam tentu pemberian izin poligami menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Hal ini sebagaimana telah dipertegas dalam Pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:
“Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama”[5]
Berdasarkan ketentuan pasal diatas, seorang laki-laki beragama Islam yang ingin melangsungkan poligami wajib mengajukan izin ke Pengadilan Agama yang berada di daerah tempat tinggalnya. Sebagai contohnya pengajuan izin poligami di wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau diajukan ke Pengadilan Agama Tembilahan.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan, seorang suami harus memenuhi beberapa syarat seperti:
- Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka;
- Khusus syarat huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.[6]
Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya Pengadilan Agama hanya dapat memberikan izin poligami apabila semua persyaratan tersebut telah terpenuhi.[7] Selain syarat tersebut diatas, pada saat mengajukan izin poligami kepada Pengadilan Agama, terdapat beberapa syarat administratif yang wajib dipenuhi antara lain sebagai berikut:
- Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami, istri, dan calon istri (masing-masing materai 10.000 lalu dilegalisasi di Kantor Pos);
- Fotokopi surat nikah pemohon (materai 10.000 lalu dilegalisasi di Kantor Pos);
- Surat pernyataan berlaku adil dari suami (materai 10.000 lalu dilegalisasi di Kantor Pos);
- Surat pernyataan bersedia dipoligami (materai 10.000 lalu dilegalisasi di Kantor Pos);
- Daftar harta gono-gini dengan istri pertama dan seterusnya yang diketahui oleh kelurahan/Kepala Desa setempat;
- Surat keterangan penghasilan suami yang diketahui oleh kelurahan/Kepala Desa setempat;
- Surat permohonan akan poligami sebanyak 6 rangkap yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama setempat.[8]
Selanjutnya, menurut Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pengadilan hanya dapat memberikan izin kepada seorang suami yang ingin melangsungkan poligami apabila terdapat beberapa alasan sebagai berikut:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai Istri;
- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- Istri tidak dapat melahirkan keturunan.[9]
Kompilasi Hukum Islam juga mengatur ketentuan yang sama terkait alasan-alasan pengajuan poligami yang dapat dibenarkan dan dikabulkan oleh Pengadilan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 57 yang menjelaskan bahwa Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai Istri;
- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- Istri tidak dapat melahirkan keturunan.[10]
Alasan-alasan tersebut diatas bersifat fakultatif, artinya apabila salah satu alasan tersebut dapat dibuktikan, maka Pengadilan Agama dapat memberikan izin poligami.[11] Dalam praktiknya, pemberian izin poligami oleh di Pengadilan Agama Tembilahan telah berdasar pada ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) sebagai berikut:
Nomor Putusan
|
Alasan Mengajukan Izin Poligami
|
Dasar Hukum
|
696/Pdt.G/2017/PA.Tbh
|
Istri pertama (Termohon) tidak bisa sepenuhnya melayani suami (Pemohon) karena harus merawat dan menjaga anak-anak yang masih kecil-kecil dan sekolah.[12]
|
Pasal 4 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 57 huruf a Kompilasi Hukum Islam.
|
303/Pdt.G/2018/PA.Tbh
|
Istri (Termohon) sudah tidak mampu lagi menjalankan kewajibannya dalam hal hubungan suami istri, sehingga suami (Pemohon) khawatir akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.[13]
|
Pasal 4 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 57 huruf a Kompilasi Hukum Islam.
|
228/Pdt.G/2019/PA.Tbh
|
Istri (Termohon) tidak dapat lagi menjalankan kewajiban dengan sepenuhnya sebagai istri, oleh karenanya suami (Pemohon) sangat khawatir akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh norma agama dan antara Pemohon dan Calon istri Pemohon sudah lama saling mencintai dan menyayangi yaitu sejak tahun 2013.[14]
|
Pasal 4 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 57 huruf a Kompilasi Hukum Islam.
|
315/Pdt.G/2020/PA.Tbh
|
Istri (Termohon) sudah Monopause dan sekarang ini sedang mengalami sakit stroke sehingga tidak dapat lagi menjalankan kewajiban dengan sepenuhnya sebagai istri, oleh karenanya Suami (Pemohon) sangat khawatir akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh norma agama dan antara Pemohon dan calon istri kedua Pemohon sudah lama saling mencintai dan menyayangi yaitu sejak tahun 2018.[15]
|
Pasal 4 ayat (2) huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 57 huruf a, b dan c Kompilasi Hukum Islam.
|
573/Pdt.G/2020/PA.Tbh
|
Termohon tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri secara maksimal.[16]
|
Pasal 4 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 57 huruf a Kompilasi Hukum Islam.
|
638/Pdt.G/2020/PA.Tbh
|
Istri (Termohon) yang tidak bisa memberikan keturunan, sementara Suami (Pemohon) sangat ingin mempunyai keturunan lagi.[17]
|
Pasal 4 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 57 huruf c Kompilasi Hukum Islam.
|
129/Pdt.G/2021/PA.Tbh
|
Istri (Termohon) tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri sepenuhnya, hal ini disebabkan karena Termohon mengidap penyakit struk.[18]
|
Pasal 4 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 57 huruf a dan b Kompilasi Hukum Islam.
|
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu poligami dapat dinyatakan sah apabila telah memperoleh izin dari Pengadilan Agama setempat. Seorang laki-laki beragama Islam yang melangsungkan poligami tanpa adanya izin dari Pengadilan Agama setempat dapat berakibat hukum pada tidak sahnya perkawinan poligami yang telah dilakukan. Hal ini sebagaimana telah dipertegas dalam Pasal 56 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:
“Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.”[19]
Berdasarkan ketentuan pasal diatas, perkawinan poligami tanpa izin Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan kata lain perkawinan poligami tersebut hanya dianggap sah secara agama, namun tidak diakui secara hukum nasional. Oleh karenanya, mengacu Pasal 71 Buku I Kompilasi Hukum Islam, perkawinan poligami tersebut dapat dilakukan pembatalan perkawinan dengan dalih seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.[20] Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengamini bahwa poligami tanpa izin pengadilan dapat dilakukan pembatalan dengan mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada Pengadilan setempat dalam hal ini Pengadilan Agama yang berada dalam daerah hukumnya. Sehingga dengan adanya putusan pembatalan perkawinan oleh Pengadilan Agama, perkawinan poligami tanpa izin Pengadilan Agama tersebut dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.
[1] Analis Perkara Peradilan, Pengadilan Agama Tembilahan.
[2] Lihat Pasal 28B ayat (1) Undang=Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[3] Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[4] Lihat Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[5] Lihat Pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
[6] Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[7] Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, Jakarta, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2014, hlm. 156.
[9] Lihat Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[10] Lihat Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam.
[11] Op Cit, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, hlm. 156.
[12] Lihat Putusan Nomor 696/Pdt.G/2017/PA.Tbh.
[13] Lihat Putusan Nomor 303/Pdt.G/2018/PA.Tbh.
[14] Lihat Putusan Nomor 228/Pdt.G/2019/PA.Tbh.
[15] Lihat Putusan Nomor 315/Pdt.G/2020/PA.Tbh.
[16] Lihat Putusan Nomor 573/Pdt.G/2020/PA.Tbh.
[17] Lihat Putusan Nomor 638/Pdt.G/2020/PA.Tbh.
[18] Lihat Putusan Nomor 129/Pdt.G/2021/PA.Tbh.
[19] Lihat Pasal 56 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam.
[20] Lihat Pasal 71 Buku I Kompilasi Hukum Islam.